Followers

09 November 2013

Tagged under:

Me & Statistics








Statistics is the most annoying math subjects for me when I was senior high school student. Moreover, our teacher did not explain us about statistics, we presented them one-by-one, they were different with other math subjects which was explained by the teacher. In addition, when I answered math test, statistics is the last one to be done.

Unfortunately, now, I am being statistics student, playing with more annoying math. Really, I never expect that the one I deny, will come together with me. Her name is statistics, I never look and search for her. Actually, I was failed in first test, then I chose her for the next choice; I did not know why.

There are three possible choices I would like to choose in second chance of the test. They are mathematics, statistics, and computer science. But I did not why, I chose statistics first, then in the second was mathematics. I denied computer science, I wanted to  choose it in first choice but I did not. Neither in second choice, I did not choose computer science. Maybe, quality, existence and age in that university were the reasons why I did not choose it.

I was accepted at the first choice then. At that moment, I was really contented, in other side, I was confused to accept her or not. However, I waited the other selection in other prestigious university, unfortunately I was failed there.

I had a chance to deny statistics if only I took the other selection in newborn engineering university. However, I did not take that test, and decided to choose statistics for the next study.

I concluded that I was failed at test preparation. I did not look from the brighter ways. I did not use chances effectively.I did not make great strategy. I did not get the one I want, wheter I got the unexpected one.

However, in the past, I prayed and requested to God, and I thought half of my requests become real. My accepted requests were:
1.    I want to study in West Java
2.    I want to study in FMIPA

From the first request, specifically I wanted to study in Bandung but I said West Java too. From the second request, specifically I wanted to study in FMIPA located in Bandung. I failed in first test; I succeeded in second test. That’s why I said that ‘half of my requests’.

Actually, there are amazing facts which link me with statistics.
1.    God showed me FMIPA words in the Jubel Calendar* (I saw the FMIPA words in randomly letter) and my feelings said that I would be there. Surprisingly, it was true, I am FMIPA student now.
*The words randomly created from the quotes in Jubel Calendar showed per one month
2.    My twitter name is starthedust. I ever randomly ordered the letter from my twitter name. And in one day, I recognized that my twitter name show statistics. There is stat (statistics’ nickname) from starthedust words; starthedust without r will become stathedust. We can spell it “stat he dust”. What is that mean?
3.   I love amazing facts. And if you know the amazing facts come from statistics. Moreover, I love to search amazing facts from an event. I think that’s okay for me to become statistician.

Now, I have been studying statistics in third semester. No matter what, I must learn and understand statistics seriously, applying statistics in the real life and become useful for other people. Really,  I do not expect to be here. God show me this way, this is the best way to be here. I believe amazing things will come to me.

03 November 2013

Tagged under:

Sampah—Kita Tertinggal Dua Langkah dari Jepang


“Jepang merupakan negara yang sempurna jika saja warga negara di sana tidak memakan babi dan memiliki agama” kira-kira seperti itulah untaian kata yang dilepaskan oleh salah satu pemateri dalam acara seminar beasiswa tahun 2012 lalu di Gedung Statistika Universitas Padjadjaran.

“Jepang merupakan negeri terindah” untaian kata tersebut dikatakan oleh Koko Joni, guru les ketika saya masih berada di bangku sekolah menengah atas sekaligus pemilik St. Ignatius di Palembang. Saya setuju dengan apa yang beliau katakan, Jepang merupakan negeri terindah, negeri yang berbasiskan teknologi namun memiliki keindahan alam yang luar biasa, contohnya saja yaitu sakura yang hanya bisa tumbuh di Jepang.

Dari kedua pernyataan di atas, Jepang merupakan negara yang mesti dibilang ‘wow’. Jepang merupakan negara yang luar biasa, dari segala sisi seperti teknologi, budaya, keindahan alam, sumber daya manusia, dsb. lebih unggul daripada Indonesia. Dalam sisi teknologi misalnya, entah sudah berapa langkah Indonesia tertinggal dari Jepang.

Dalam hal sampah, Indonesia tertinggal dua langkah dari Jepang. Pertama, kebanyakan warga Indonesia membuang sampah sembarangan; hal yang pernah saya amati yaitu: (1) Di kampung saya, seseorang (sudah dewasa) membuang sampah ke sungai sehingga sungai menjadi coklat dan bisa jadi hitam; (2) Di kampung saya, anak kecil yang bermain di sekitar rumah saya, sering membuang sampah (bungkus makanan/minuman) sembarangan; (3) Tidak jarang, seorang mahasiswa sekalipun pernah membuang sampah sembarangan, menurut pengamatan saya—setiap kali meninggalkan kelas biasanya terdapat sampah seperti tisu, kertas maupun bungkus makanan atau botol minuman yang tertinggal di ruangan.

Dari tiga hal di atas saya menyimpulkan bahwa orang Indonesia banyak yang tidak peduli lingkungan. Mulai dari anak kecil hingga dewasa, dari yang tidak terdidik hingga yang terdidik, mereka kurang peduli lingkungan. Entah karena tidak ada kotak sampah atau malas membuang sampah, mereka membuangnya secara sembarangan, dan ataukah ini sifat asli orang kita?

Kedua, meskipun warga Indonesia membuang sampah pada tempatnya, namun antara sampah organik dan sampah anorganik tidak dipisahkan. Berbeda dengan Jepang, senior saya yang pernah ke sana mengatakan (berkicau di twitter) bahwa rumah-rumah dan tempat-tempat di sana memisahkan antara sampah organik dengan sampah anorganik.

Di SMA saya, antara sampah organik dan anorganik dipisahkan, namun ujung-ujungnya sampah tersebut digabungkan kembali di sebuah truk pengangkut sampah. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik di sana mungkin hanya sebatas formalitas saja. Bisa jadi berguna untuk melatih siswa untuk membedakan sampah organik dan anorganik atau digunakan untuk mengikuti lomba kebersihan untuk menambah nilai.

Untuk poin yang kedua mungkin sangat sulit direalisasikan di seluruh Indonesia. Jika kita bisa mengatasi poin pertama, artinya kita hanya tertinggal satu langkah saja dari Jepang. Namun, tidaklah mudah mengubah kebiasaan seluruh warga Indonesia agar poin pertama di atas dapat diatasi. Kebiasaan membuang sampah sembarangan yang telah tertanam dan menjadi sifat asli sulit untuk dibuang. Di sinilah, pendidikan sejak kecil yang baik sangat dibutuhkan agar terciptanya kebiasaan cinta terhadap lingkungan.

Oleh karena itu, marilah kita peduli terdapat lingkungan kita. “Buanglah sampah pada tempatnya”, kalimat ini mungkin sudah sering terlihat dan terdengar di mata dan telinga kita. Tapi jangan hanya sebatas mendengar dan melihat saja, lakukan hal tersebut dengan aksimu, dengan tanganmu!